“Sesungguhnya putriku ini adalah amanah di
pundakku dan aku berusaha mencari untuk kebaikan urusannya pada apa yang
telah aku perbuat.” Atas alasan itulah Said Bin Musayyib menolak
pinangan Amirul Mukminin dan menikahkan putrinya dengan orang kalangan
biasa dari kaum muslimin.
Mendung duka belum tersaput dari wajah
lelaki yang baru kehilangan orang yang paling dikasihi. Dia tidak tahu
bahwa ternyata malam itu adalah malam terakhir dirinya menjumpai istri
di rumahnya yang sederhana.. Terbayang kembali wajah istrinya, yang
demikian baik kepadanya. Dialah yang senantiasa menghibur kesedihannya.
Ikut memahami dan merasakan kegalauannya. Istri yang selalu mendoakannya
agar dirinya mendapatkan hidayah Allah. Istri yang senantiasa
mengalirkan air mata pada tiap-tiap pertengahan malam, yang selalu
menyemangati untuk selalu mencari ridha Allah.
Namun kegembiraan
tidaklah boleh berlebihan, duka pun tak boleh berkelanjutan. Pria shaleh
yang mendalam ilmunya ini menyadari bahwa duka kematian istrinya tidak
boleh berlarut-larut. Kecintaannya akan majelis ilmu yang dipimpin
gurunya Said Bin Musayyib harus segera dihadiri lagi.
“Allahu
akbar, Allahu akbar,” Adzan subuh pun berkumandang. Gemanya menggetarkan
jiwa. Menerobos bilik-bilik rumahnya yang sederhana. Suara yang selalu
dinanti. Suara yang selalu bisa membawanya terbang tinggi, menikmati
empuknya awan, terbang jauh, diayun gelombang sahara yang menenangkan.
Lengkingan suara yang menghapus kedukaan, membawanya pada kegembiraan
dan melupakan sejenak segala sesak yang menghimpit tenggorokan.
Aduhai,
alangkah merdunya suara panggilan itu kali ini. Abu Wada’ah merasakan
kedamaian dan ketentraman yang mendalam. Dia menjawab suara muadzin itu,
tak terasa langkahnya telah membawanya ke masjid Nabawi. Masjid tempat
dia selama ini menuntut ilmu. Abu Wada’ah kembali datang ke majelis
sebagaimana biasa.
Abdullah bin Abu Wada’ah dalam beberapa riwayat
sering disebut Abu Wada’ah, dia berguru kepada Said Bin Musayyib,
seorang tokoh ulama dari generasi tabi’in bernasab langsung ke Bani
Mahzhum. Seorang ulama yang selalu berpuasa di siang hari, bangun di
tengah malam. Menunaikan haji sekitar empat puluh kali. Sejak empat
puluh tahun tidak pernah terlambat dari takbir pertama di masjid Nabawi
dan ia selalu menjaga untuk berada di shaf pertama. Allah
menganugerahkan kelapangan rezeki, dia bisa menikah dengan siapa saja
yang ia kehendaki dari wanita bangsawan Quraisy, namun ia lebih memilih
putri Abu Hurairah ra dari seluruh para wanita. Yang demikian itu karena
kedudukannya dari Rasulullah saw. dan keluasan riwayatnya terhadap
hadits serta raghbah-nya (keinginannya) yang begitu besar dalam mengambil hadits darinya. Ia telah mendedikasikan dirinya untuk ilmu semenjak kecil.
Ia
belajar dengan istri-istri Nabi saw. dan mengambil manfaat dari mereka.
Berguru kepada Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Abbas dan Abdullah ibn
Umar. Dan juga mendengar dari Utsman, Ali dan Shuhaib serta sahabat Nabi
mulia saw yang lainnya. Said Bin Musayyib adalah seorang guru yang
memiliki keteladanan yang tinggi. Beliau memiliki dan memimpin sebuah
majelis ilmu (halaqah) yang cukup besar di Masjid Nabawi Madinah, di
samping halaqah-halaqah yang lain yang ada di masjid itu, seperti
halaqahnya ‘Urwah bin Zubair, dan Abdullah bin ‘Utbah.
Abu Wada’ah
termasuk seorang murid yang setia, dia tidak pernah absen setiap kali
sang guru mengajar. Makanya sewaktu Abu Wada‘ah tidak datang ke majelis
halaqahnya beberapa kali, tentu saja Said Bin Musayyib merasa kehilangan
murid setianya ini. Beliau merasa khawatir kalau-kalau
ketidakhadirannya disebabkan karena sakit atau karena ada masalah yang
menimpanya. Lalu beliau menanyakannya kepada murid-murid yang lainnya
tentang keadaan Abu Wada’ah, tetapi mereka semua mengatakan tidak tahu.
Subuh
itulah untuk pertama kalinya Abu Wada’ah menampakkan diri kembali di
majelis sebagaimana biasa. Maka sang guru Said Bin Musayyib segera
menyambut kedatangannya dengan sapaan yang penuh perhatian.
“Ke mana saja engkau ya Aba Wada’ah?” Sapa Sang Guru penuh perhatian
“Istriku meninggal dunia, sehingga aku sibuk mengurusinya,” Jawabnya.
“Mengapa
tidak memberitahu kami sehingga kami bisa menemanimu dan mengantarkan
jenazah istrimu serta membantu segala keperluanmu,” Sang guru
menunjukkan perhatiannya
“Terima kasih, jazaakallahu khairan,”
Jawab sang murid sambil menyembunyikan perasaannya yang terkesan memang
sengaja tidak memberi tahu karena khawatir merepotkan gurunya. Dan
ketika hendak beranjak pergi, sang guru menahannya. Sampai ketika semua
murid yang lainnya telah pulang. Tidak berapa lama kemudian Said Bin
Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikan sesuatu kepadanya.
“Apakah
engkau belum terpikir untuk mencari istri yang baru ya Aba Wada’ah.”
Bisik sang Guru dengan penuh kehati-hatian untuk menjaga perasaan
muridnya.
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu,
siapa orangnya yang mau mengawinkan anak perempuannya dengan pemuda
sepertiku yang sejak kecil yatim, fakir dan hingga sekarang ini aku
hanya memiliki dua sampai tiga dirham,” Tandas Abu Wada’ah yang
tampaknya ingin bersikap realistis terhadap keadaan dirinya.
“Aku
yang akan mengawinkanmu dengan anak perempuanku,” Sang Guru menegaskan
ucapannya. Abu Wada’ah terkejut dan dengan terbata-bata menanggapi
tawaran gurunya.
“Eng,…engkau akan mengawinkanku dengan anak
perempuanmu, padahal engkau tahu sendiri bagaimana keadaanku,” Abu
Wada’ah menanggapi setengah tidak percaya.
Beberapa saat kemudian
keduanya terdiam, Sang Guru sendiri tampak arif dan demikian memahami
perasaan muridnya. Tak lama kemudian, Syaikh mengucapkan sebuah
perkataan yang sama sekali tak diduga oleh Abu Wada’ah.
“Ya,…kenapa
tidak, karena ketika telah datang seseorang yang aku ridha terhadap
agamanya dan akhlaknya maka aku akan kawinkan anak perempuanku dengan
orang itu, dan engkau termasuk orang yang aku ridha”. Tegas sang guru.
Padahal
sebelum ini putri beliau pernah dilamar oleh Al-Walid bin Hisyam bin
Abdul Malik, putra mahkota Dinasti Umayyah, pada saat ayahnya Amirul
Mu’minin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah. Said Bin
Musayyib menolak lamaran khalifah yang ingin menjodohkan putrinya dengan
putera mahkotanya.
Putri Syaikh Said sendiri adalah salah seorang
perempuan tercantik dan sempurna, seorang puteri yang paling mendalam
ilmunya tentang Al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi meskipun yang melamar
anaknya adalah putra mahkota, Said Bin Musayyib tidak canggung
menyampaikan permintaan maafnya karena menolak lamarannya. Keluarga
istana Dinasti Umayyah tetap berusaha keras untuk dapat mempersunting
putrinya itu, namun Said Bin Musayyib tetap tak bergeming, karena ia
mengetahui bahwa Al-Walid adalah pemuda yang banyak melakukan dosa dan
lemah agamanya. Dalam pandangan ahlud-dunia sikap Said Bin Musayyib
mungkin dinilai aneh karena menyia-nyiakan kesempatan untuk menaikkan
taraf hidup.
Sementara bagaimana dengan kita sekarang ini? Atas
pertimbangan apa kita menerima dan menolak seseorang? Adalah Erich
Fromm, dalam bukunya berjudul The Art of Loving, mengungkapkan
dengan gamblang bahwa hubungan pria dan wanita pada jaman modern, pada
akhirnya tak lebih dari sebuah proses tukar menukar seperti layaknya
transaksi jual beli di era pasar bebas seperti saat ini. Sang pria
menjual image-nya sebagai sosok yang tampan, dengan tubuh berotot, six packs,
punya segala macam fasilitas mulai dari kendaraan keluaran terbaru,
gagdet keluaran terbaru, dan style berpakaian yang tidak boleh
ketinggalah jaman. Tak lupa, sang wanita pun menjual aset berharga
berupa keindahan tubuhnya, kecantikan, tutur kata yang lemah lembut
(meskipun aslinya kadang-kadang wataknya tidak lemah lembut sama sekali)
hingga kecerdasan otaknya.– Astaghfirullah!
Namun Sa’id Bin
Musayyib jauh dari sifat mengeksploitasi anaknya demi mengejar
keuntungan dunia. Sebagai orang tua sekaligus seorang ‘alim, beliau
hanya mendambakan putrinya mendapatkan jodoh dari orang yang bertaqwa
dengan sesungguhnya. Dan pilihannya jatuh pada salah seorang murid
majelis halaqahnya. Ia bukanlah seorang kaya, apalagi keturunan
bangsawan, bahkan hanya seorang pemuda yatim yang berstatus duda dari
wilayah Hayna.
Pada keduanya telah terjalin tafahum (saling memahami) tingkat tinggi. Bukan sekedar hubungan murid dengan guru semata akan tetapi lebih jauh dari itu adalah ta’akhi (persaudaraan)
yang kental dan mendalam. Hubungan yang dirajut karena kecintaan kepada
Allah semata dan jauh dari baju kepura-puraan, pura-pura shaleh,
pura-pura ‘alim dan taqwa. Jadi Said Bin Musayyib meluluskan putrinya
menikah dengan tak ada penilaian yang bersifat materi keduniaan dalam
jiwa dan benaknya.
Tak berapa lama kemudian, Said Bin Musayyib
memanggil beberapa orang muridnya yang kebetulan masih berada di dalam
masjid. Ketika mereka ada di dekatnya, saat itu juga Said Bin Musayyib
mengucapkan lafadz hamdalah dan shalawat atas Rasulullah saw…
lalu disebutlah lafadz akad nikah antara putrinya dan Abu Wada’ah.
Maharnya adalah uang senilai dua dirham.
Berbagai perasaan
gembira, haru, bingung bercampur dalam hati Abu Wada’ah. Setelah selesai
acara ‘aqad nikah yang sangat sederhana itu, ia segera pamit pulang ke
rumahnya.
“Siang itu sebenarnya aku tengah puasa, tapi peristiwa itu menjadikan aku hampir lupa dengan puasaku…” Ungkap Abu Wada’ah dalam hati.
Sungguh
bahagia Abu Wada’ah, saat segala takdir harus diterima dengan pasrah,
saat Allah memberi kecukupan dengan karunia yang mungkin ‘terlihat’ apa
adanya, saat rezeki yang bersahaja harus dipandang sebagai anugrah tak
terkira, saat orang percaya atau tidak percaya, bahwa sesungguhnya
engkau telah mendapat anugrah terindah…
Kilatan cahaya pikiran itu
terus menerus menerangi sehingga membuka kesadaran yang hakiki. Hingga
tiba adzan maghrib dan dia harus membatalkan puasanya. Selesai melakukan
shalat maghrib, ia bersiap untuk ifthar dengan sepotong roti dan minyak.
Sementara
di tempat lain Said Bin Musayyib setelah menyelesaikan prosesi akad
nikah di Masjid Nabawi tadi, beliau kemudian pulang ke rumahnya dan
mendapati putrinya tengah membaca Al-Qur’an.
“Apa yang sedang engkau lakukan wahai putriku?”
“Aku sedang membaca kitabullah wahai ayah…..”
“Apakah engkau memahaminya?”
“Ya, duhai ayahku. Tetapi, ada satu ayat yang aku belum bisa memahaminya sama sekali.”
“Ayat apakah itu wahai putriku?” tanya sang ayah dengan penuh keheranan.
“Yaitu firman Allah:
‘Dan
di antara mereka ada orang yang berdoa, ‘Wahai Rabb kami, berikanlah
kepada kami kebaikan di dunia dan juga di akhirat, serta peliharalah
kami dari siksa neraka’.’ (Al-Baqarah : 201)
”Duhai ayahku, aku telah mengetahui bahwa kebaikan akhirat adalah jannah, lalu apakah yang dimaksud dengan kebaikan dunia?”
Sang
ayah kemudian menjelaskan dengan penuh hangat, “Duhai putriku, kebaikan
dunia adalah ketika seorang istri yang shalihah mendapatkan suami yang
shalih. Hari ini Allah telah memberikan nikmat kepadamu dengan seorang
suami yang shalih, maka bersiaplah untuk memasuki malam pertama
bersamanya….”
Di rumahnya Abu Wada’ah belum tuntas menikmati
sajian iftharnya berupa satu atau dua potong roti, tiba-tiba terdengar
suara orang mengetuk pintu rumahnya. Kemudian dia berdiri untuk membuka
pintu.
“Siapa di luar…?” tanya Abu Wada’ah.
“Saya Said,“ Jawab suara dari luar
Suara
itu segera dikenalnya, yang tidak lain adalah Said Bin Musayyib. Ada
apa gerangan? Karena saat itu sebenarnya Abu Wada’ah masih diliputi
perasaan grogi dan cemas. Dalam benaknya, mungkin saja kedatangan syaikh
Said hendak membatalkan urusan pernikahan ini, atau mungkin saja
mempelai putri menolak menjadi istrinya. Tetapi, ketika dibuka pintu
rumahnya, ternyata imam Said datang bersama putrinya yang telah memakai
gaun pengantin
“Apa yang membuat Anda tergesa-gesa datang kemari wahai Syaikh?” Abu Wada’ah pun bertanya kepada sang imam.
“Sesungguhnya
Allah membenci jika salah seorang di antara kita bermalam tanpa
memiliki istri. Sehingga, setan tidak mengganggunya wahai Abu Wada‘ah.
Inilah aku bawakan istrimu, semoga engkau diberkahi dengannya, dan
semoga ia juga mendapatkan barakah denganmu, serta mengumpulkan kalian
berdua dalam naungan kebaikan.”
Kemudian Said Bin Musayyib
meninggalkan putrinya di rumah Abu Wada’ah. Saat itu juga Abu Wada’ah
berlari dan naik ke atap rumahnya dan memanggil seluruh tetangganya.
Seketika itu pula, para tetangganya berhamburan mendatanginya dan
bertanya,
“Ada apakah gerangan wahai Abu Wada‘ah sehingga engkau memanggil kami?” Tanya para tetangganya.
“Said
Bin Musayyib telah menikahkanku dengan putrinya. Beliau telah datang
kepadaku malam ini untuk menyerahkan putrinya kepadaku. Dan sekarang,
putrinya telah bersamaku.” Abu Wada’ah mengumumkan perihal keadaannya
kepada mereka.
Para tetangga kemudian mendatanginya dan membantu
hajat Abu Wada’ah. Kaum wanita mempersiapkan pengantin putri dan kaum
lelaki mempersiapkan Abu Wada’ah agar bertemu dengan istrinya dalam
keadaan terbaik. Dalam walimah sederhana itu tidak ada permainan dan
perbuatan yang sia-sia.
Kemudian para undangan pulang ke rumahnya
masing-masing dengan mendapatkan balasan dari Allah dan juga rasa terima
kasih dari Abu Wada’ah. Mempelai laki-lakipun kemudian masuk ke rumah
menemui istri barunya. Ternyata, ia adalah wanita yang sangat cantik,
paling hafal dengan kitabullah, paling tahu dengan sunnah Rasulullah dan
paling paham akan hak-hak suami.
Setelah berlalu masa sepekan dari pernikahannya, diapun kemudian meminta ijin kepada istrinya untuk keluar.
“Hendak ke mana duhai suamiku?”
“Hendak menghadiri majelis ilmu Said Bin Musayyib….”
“Duduklah di sini saja duhai suamiku. Akan aku ajarkan kepadamu ilmu Said Bin Musayyib….” Istrinya berkata dengan penuh hangat,
Lantas,
Abu Wada’ah pun duduk bersamanya mengkaji ilmu agama. Suatu waktu, Said
Bin Musayyib menengok keadaan Abu Wada’ah dan istrinya.
“Mengapa sekarang engkau tak lagi menghadiri halaqah wahai Abdullah?”
“Karena aku telah mendapati pada putri Said ilmunya Said,” Jawab Abdullah.
Kebahagiaan
tetaplah rahasia Ilahi, meskipun sejuta manusia menggapai langit dan
menggali bumi. Kebahagiaan sejati hanya dilandasi keyakinan akan takdir
sehingga menjunjung manusia kearah ketabahan, kepasrahan, keteduhan hati
dan keikhlasan, bak mutiara terpendam yang menyorotkan cahaya pasrah,
menyambut keridhaan Ilahi. Peneladanannya terhadap Nabi saw. menggeser
segala kesukaannya terhadap segala penghuni bumi. Itulah sebabnya,
kehambaannya bertahan walau cobaan menerpa. Abu Wada’ah berbahagia
dengan takdirnya, maka keabadian menghampirinya dengan segala
keindahannya. Surga dunia, juga surga Akhirat.
Sumber : www.dakwatuna.com
Sumber : www.dakwatuna.com