Tuesday, 26 August 2014

Penanggalan Tahun Hijriyah dan Persatuan Umat

Penanggalan di dalam Islam disebut penanggalan Tahun hijriyah yang berbeda dengan tahun masehi. Baik dari sisi awal perhitungannya, maupun dasar perhitungannya. Dasar filosofi dari tiap penanggalan tidak bebas nilai, tetapi sangat dipengaruhi keyakinan masing-masing. Penanggalan Islam sudah pasti  harus berdasarkan aqidah dan syariat Islam. Tulisan ini akan membahas kaitan antara penanggalan tahun hijriyah dengan hukum Islam dan persatuan umat.
   
Penentuan Tahun Hijriyah
Ibn Hajar dalam Al Hakim menuturkan, As Sya’bi berkata: ”Abu Musa pernah menulis surat yang ditujukan kepada ’Umar yang isinya, ”Telah datang darimu sejumlah surat, sementara surat-surat itu tidak bertanggal. ”’Umar pun kemudian mengumpulkan orang-orang. Sebagian orang berkata, ”Penanggalan dimulai dari diutusnya Rasulullah saw. Sebagian yang lain berkata: ”Penanggalan dimulai dari hijrahnya Rasulullah”. ’Umar kemudian berkata: ”Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Karena itu, mulailah penanggalan dari hijrahnya Rasulullah”. Tatkala mereka telah bersepakat mengenai Tahun Hijrah itu, sebagian mereka kemudian berkata: ”Mulailah dengan bulan Muharram. Sebab, bulan Muharram adalah bulan kembalinya orang-orang dari menunaikan ibadah haji”. Orang-orang pun menyepakatinya.” (HR Ibn Hajar).

Allah SWT berfirman: ”Demi waktu fajar”. (QS Al Fajar (89): 1). Al Qurthubi, menuturkan bahwa Qatadah menjelaskan maksudnya adalah fajar awal hari yaitu bulan Muharram. Tahun hijriyah terdiri dari  bulan: Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ats Tsani, Jumada al Ula, Jumada ats Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. 

Ru’yatul Hilal
Perhitungan tahun hijriyah berdasarkan peredaran bulan, sedangkan perhitungan tahun masehi berdasarkan peredaran matahari. Satu bulan dalam Tahun Hijriyah terdiri dari 29 hari atau 30 hari. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar ra menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: ”Satu bulan itu terdiri dari 29 hari. Karena itu, janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal. Apabila hilal itu terhalang atas kalian maka genapkanlah jumlah harinya menjadi 30 hari”. (HR Al Bukhari).

Hadits tersebut menjadi dalil syara’ tentang cara menentukan permulaan bulan dengan ru’yatul hilal (melihat bulan sabit tanggal 1) dengan mata telanjang. Dalam Ash Shirath al Mustaqim, Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: ”Ini adalah dalil yang menunjukkan adanya ijma’/kesepakatan kaum Muslim, kecuali sebagian golongan yang sulit dan menyimpang dari ijma sahabat, bahwa waktu shaum, berbuka Idhul Fithri, dan ibadah haji ditentukan dengan merukyat hilal; bukan dengan sistem kalender atau hisab sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang non arab seperti bangsa Romawi, Persia, Kristen Koptik, Hindu, serta Ahlul Kitab dari golongan Yahudi dan Nasrani”.

Kewajiban Mengetahui Penanggalan Hijriyah 
Muslim wajib mengetahui permulaan tiap bulan karena berkaitan dengan sejumlah hukum.  Hal ini berdasarkan kaidah umum ushul fiqh:  ”Kewajiban yang tidak sempurna kecuali karena adanya sesuatu maka keberadaan sesuatu itu hukumnya wajib”.

Muslim wajib mengetahui hari dalam seminggu karena berkaitan dengan shalat Jum’at, waktu mustajab dikabulkan doa dan bershalawat atas nabi pada hari Jum’at, membaca surat al Kahfi agar terhindar dari fitnah Dajjal, shaum Senin-Kamis, shaum sunnah tengah bulan.

Muslim wajib mengetahui hari dan malam dalam sehari karena berkaitan dengan sahur dan buka shaum, wukuf di Arafah, bermalam di Mina, sebagian aktivitas pada hari raya Qurban.

Muslim wajib mengetahui waktu malam setiap harinya berkaitan dengan sejumlah hukum tertentu seperti layalli al bayd (yaitu malam tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulannya; yang esok harinya dianjurkan shaum sunnah), malam Nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban), membaca surat al Kahfi pada malam Jum’at, dll.

Imam Syafi’iy pernah berkata: ”Saya suka membaca surat Al Kahfi setiap malam Jum’at dan siang harinya karena adanya hadits mengenai hal itu”.

Perhitungan Hari
Secara bahasa, hari (al yaum) dalam Lisan al ’Arab dihitung dari mulai terbitnya matahari hingga terbenamnya. Secara syar’i, hari dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Artinya, permulaan hari atau siang hari dinukil dari waktu terbit matahari hingga waktu fajar, dan akhirnya ditandai dengan terbenamnya matahari. Malam hari dimulai dari waktu terbenam matahari hingga terbit fajar.

Hadits Hudzaifah menyatakan: ”Kami pernah bertanya kepada Hudzaifah,”Apakah ’Umar telah mengetahui ’pintu’ itu?”  Hudzaifah menjawab, ”Betul”.  Ia telah mengetahuinya sebagaimana halnya sebelum esok hari adalah malamnya (duna ghaddin layluhu)”.  Firman Allah:  ”Malam tidak mungkin mendahului siang.” (QS Yasin (36): 40).  Malam hari tidak akan melampaui siang hingga hal itu dapat diketahui.  Intinya, setiap batas tidak akan bisa dilampaui atau dikurangi.  Artinya, malam tidak akan datang sebelum batas waktu siang habis. Pemahaman ini berbeda dengan pandangan non Islam yang memandang sehari semalam itu dihitung dari siang hari sampai malam hari.
   
Jadi, malam Jum’at adalah malam sebelum hari Jum’at, malam Idul Fithri dan Idhul Adha adalah malam sebelum Hari Raya Idul fithri dan Idul Adha. Kenyataan ini berbeda dengan pemahaman orang Barat. Jum’at Malam bagi mereka adalah malam Sabtu bagi kita.

Persatuan Umat
Syariat hanya menetapkan secara mutlak ru’yatul hilal untuk menetapkan awal setiap bulan dan beberapa keadaan untuk waktu shalat dalam satu hari satu malam. Seperti waktu fajar (subuh), terbit matahari (dhuha), tergelincirnya matahari (zuhur), bayangan benda yang setara panjangnya dengan aslinya (ashar), terbenamnya matahari (maghrib), dan sinar merah matahari setelah terbenamnya (isya).

Dengan demikian, dalam masalah penanggalan, syariat hanya menetapkan perkara yang berkaitan langsung dengan amalan ibadah. Amalan ibadah bagian dari syariat yang akan mempengaruhi kondisi persatuan umat Islam di seluruh dunia. 

Sebagai contoh, penentuan 1 ramadhon. Jika sudah masuk 1 ramadhon tidak berpuasa mendapat dosa. Jika belum masuk 1 ramadhon sudah berpuasa, maka puasanya tidak sah. Begitu juga penentuan 1 syawal atau 10 zulhijjah, jika sudah masuk waktunya tetapi masih puasa mendapat dosa. 

Hal Mubah dalam Penanggalan
Pembagian hari ke dalam jam dan menit hukumnya adalah mubah, karena hanya berkaitan dengan urusan-urusan yang bersifat administratif, seperti penanggalan di departemen-departemen pemerintahan, lembaga-lembaga tertentu, sekolah-sekolah, perusahaan-perusahaan supaya teratur.

Sains dan industri memerlukan ketentuan yang lebih detil. Tetapi termasuk masalah administratif atau praktis, tidak ada kaitannya dengan hukum syariat secara langsung, sehingga hukumnya tetap mubah.
   
Oleh karena itu, bisa saja menentukan kota Makkah sebagai titik nol seperti Kota Greenwitch, ataupun menjadikan malam sebagai permulaan penentuan waktu dan siang hari sebagai akhir penentuan waktu.

Khatimah
Muslim wajib mengetahui penanggalan tahun hijriyah karena berkaitan dengan hukum syara’ dan persatuan umat. Walloohu a’lam bish showwab

Sumber : http://www.suara-islam.com/read/index/8653/Penanggalan-Tahun-Hijriyah-dan-Persatuan-Umat-