Tahukah
Anda bahwa sebagai orang yang mengaku beriman sekalipun, prinsip dan
kelakuan yang di luar jalur Islam penyebabnya kadang sesimpel karena ia
tidak benar-benar tahu bahwa Tuhan itu ada. Ia tidak dapat menunjukkan
bahwa Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah.
Coba, tunjukkan kepada saya bahwa Tuhan itu ada! Di mana?
Baiklah, kalau Anda sudah yakin bahwa argumentasi Anda tak tergoyahkan, Anda boleh tidak membaca tulisan ini.
Bagi
yang belum yakin, tuntaskan tulisan ini. Saya akan menceritakan
bagaimana saya mengenal dan menemukan bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah.
Ide Transendental
Ide tentang zat
yang berada di luar jangkauan manusia, transenden, muncul secara wajar
dari ketidaktahuan manusia tentang banyak hal, sementara hal-hal
tersebut begitu unik, ajaib, atau bahkan mengagumkan.
Manusia tak
mengerti kenapa pohon kelapa bisa terbakar setelah ada petir, maka ia
menanamkan ide di kepala bahwa pasti ada “dewa petir”. Para prajurit
perang tak mengerti bagaimana pasukan yang sedikit bisa mengalahkan
pasukan lawan yang jumlahnya berlipat-lipat, maka muncullah kepercayaan
nasib yang ditentukan “dewa perang”. Atau siapa yang menggantungkan
bintang di langit, matahari terbit setiap pagi, bulan purnama bersinar
indah.
Salah satu pendekatan untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang belum dimengerti tersebut adalah sains.
Setelah merumuskan teori dan implikasinya, lalu dikonfirmasi oleh
percobaan, fenomena pohon kelapa terbakar tadi dapat dijelaskan melalui
“fisika sederhana”. Dengan memahami komposisi pasukan, faktor pemimpin,
spirit pasukan, atau tujuan peperangan, seorang ahli strategi bisa
mengatakan bahwa pasukan sedikit yang menang tadi merupakan contoh “seni
perang”. Masalah bintang, matahari, dan bulan itu urusan astronomi.
Dari
sini, banyak kejadian atau hal yang tak dimengerti sebelumnya dapat
dijelaskan secara logis. Kita jadi tahu bahwa bumi ini bulat. Kita juga
jadi tahu bahwa penyakit flu bisa diobati sehingga tak menyebabkan
kematian massal seperti yang terjadi di zaman Inca.
Tentu sains tak sebatas sains eksak. Dari sisi psikologi, misalnya, kita bisa membangun rumah sakit jiwa.
Secara keseluruhan, sains membantu kita memahami bagaimana alam semesta ini bekerja.
Efek
sampingnya, bagi yang mendapat kepuasan dengan penjelasan-penjelasan
sains itu, ia jadi tak memerlukan lagi ide zat transendental tadi. Toh
ia tahu bahwa orang yang duduk lama di bawa pohon rindang bisa pingsan
karena kekurangan oksigen, bukan karena penunggu pohon. Bahkan ia tahu
kapan matahari akan padam.
Lebih jauh, sains tak mendeteksi adanya
zat transendental. Sains tak mendeteksi adanya Tuhan. Tuhan tak bisa
dilihat, tak bisa diraba, atau tak dapat dicicipi. Tak pernah terjadi,
misalnya, seorang ahli optik setelah bekerja selama 10 tahun dengan
penuh dedikasi, tibalah suatu hari ia berlari keluar laboratorium sambil
berteriak, “Eureka! Eureka…!” Ia telah melihat Tuhan melalui teropong.
Tak pernah.
Orang-orang
yang tak mendeteksi adanya Tuhan secara ilmiah itu lalu menyimpulkan
dengan lantang bahwa Tuhan tidak ada. Bahwa alam semesta ini muncul dari
ketaksengajaan (coincidence), bukan diciptakan. Kita sebut saja
kelompok orang ini sebagai materialis.
Berpikir Seperti Saintis
Seseorang
mungkin akan membuat Anda ragu dengan pertanyaan: “Sains tahu
jawabannya, kenapa Anda masih percaya Tuhan?” Mari kita bantah dengan
beberapa poin berikut:
1. Postulat
Secanggih-canggihnya
pencapaian sains, semuanya berdasar pada postulat. Postulat adalah
pernyataan yang dianggap benar tanpa pembuktian. Dari postulat ini dapat
diturunkan implikasi-implikasi lain sehingga terkonstruksi suatu
bangunan ilmu pengetahuan; biasanya dinyatakan dalam teorema, proposisi,
dan akibat (corollary). Salah satu postulat yang terkenal adalah Hukum
Kekekalan Energi:
Energi tak dapat dimusnahkan dan diciptakan. Ia hanya berubah dari bentuk satu ke bentuk yang lain.
Pernyataan
ini diterima begitu saja, dianggap benar tanpa perlu dibuktikan.
Seorang saintis sama sekali tak bereksperimen untuk menciptakan energi
baru, tak pula ia berusaha memusnahkan suatu energi. Pokoknya itu benar.
Jika digabungkan dengan Hukum Kekekalan Massa, didapat ekuivalensi antara masa dan energi seperti E=mc2 yang terkenal itu.
Contoh lain:
Hanya ada tepat satu garis yang melalui dua titik yang berbeda.
Pernyataan
ini tak pernah dibuktikan, tapi implikasinya sangat dahsyat. Salah
satunya kajian geometri bola (Spherical Geometry). Ambil contoh bola
dunia. Jika bumi dianggap bola berjari-jari 1 m, tahukah Anda luas
seluruh permukaan bumi 4 pi m2 itu akibat dari pernyataan di atas? Atau
tahukah Anda berapa jumlah minimal satelit agar GPS berfungsi dengan
baik di seluruh permukaan bumi?
2. Asumsi
Perilaku alam ini
sungguh kompleks. Berinteraksi satu sama lain; Berubah terhadap waktu;
Sementara otak manusia tak bisa mengimbangi. Karena itu, diperlukan
suatu penyederhanaan agar mudah dipahami tanpa menghilangkan keadaan
yang sebenarnya. Alat untuk menyederhanakan tersebut, saintis bermain
dengan asumsi. Asumsikan “begini”, didapat suatu rumusan. Asumsikan
“begini dan begitu”, didapat rumusan yang berlainan (atau berkaitan).
Misalnya, jika Anda ingin menentukan waktu tercepat untuk menempuh Jakarta-Bandung, percayalah, asumsikan bukan hari libur.
3. Tingkat Kepercayaan
Untuk
ilmu-ilmu yang bukan teoritis/analitis, struktur bangunannya dibentuk
dari hasil pengamatan/percobaan. Perlu diketahui bahwa perilaku alam ini
juga tak bisa ditentukan secara pasti. Kita hanya mengamati suatu
kejadian berdasar pada “peluang” ia terjadi. Dengan asumsi yang sesuai,
suatu pengamatan akan diinterpretasikan “selogis mungkin” dengan
“kesalahan sekecil mungkin”. Keberterimaan suatu interpretasi ditentukan
oleh tingkat kepercayaan (level of acceptance). Dalam ilmu statistik,
jika tingkat kepercayaan ini tinggi, 95% misalnya, kesimpulan dari suatu
percobaan dapat dipandang ilmiah.
Meskipun ada kesalahan, kita
mempertahankan interpretasi ini karena Hukum Bilangan Besar dan Teorema
Limit Pusat (Central Limit Theorem), dalam artian: jika perlakuan
terhadap sampel percobaan dilakukan berulang-ulang “cukup besar”,
interpretasi akan “konvergen” (converge) ke keadaan yang sebenarnya.
Memahami ketiga hal di atas, kita bisa mematahkan prinsip materialis dengan satu sudut pandang saja: cacat logika (logic flaw).
Keunggulan
metode sain melalui ketiga dasar di atas terletak pada kemampuan sains
untuk “memprediksi” suatu kejadian. Hasil dari keunggulan tersebut
termanifestasi dalam “produk sains”. Misalnya, dalam ilmu kimia kita
kenal efek fotolistrik, maka kita bisa membuat mesin foto kopi.
Prediksi
yang paling menakjubkan terjadi pada relativitas ruang dan waktu dalam
teori relativitas Einstein: bahwa di sekitar benda yang massif, ruang
itu melengkung. Ini “dikonfirmasi” oleh pengamatan Eddington dengan
memotret benda langit saat gerhana matahari. Terlihat benda yang sama
memiliki citra yang berbeda karena cahaya tidak merambat lurus.
Ilustrasinya, jika sebuah pintu “sangat berat”, cahaya yang mengenai
benda di balik pintu “berbelok” ke samping pintu sehingga sampai di mata
kita, karena ruang di sekitar pintu itu melengkung, sehingga kita bisa
melihat benda tersebut seolah-olah pintu tembus pandang.
Pengkonfirmasian
teori melalui percobaan ini perlu kita luruskan. Ingat bahwa
interpretasi “Tuhan tidak ada” tunduk pada implikasi dari postulat awal
yang dibentuk. Penghubung antara postulat dan interpretasi adalah
serangkaian hubungan sebab-akibat. Seperti yang pernah kita pelajari di
SMA kelas 1 dulu, bentuk sebab-akibat yang paling umum dan sederhana
bisa diambil contoh berikut.
“Jika saya lapar, maka saya makan.”
atau
“Semua orang Subang adalah warga Indonesia.”
Hasil konfirmasi itu terletak setelah kata “maka”. Secara pasti:
Jika teori berlaku, maka konfirmasi terjadi.
Padahal kita tahu:
Kalau saya makan, belum tentu saya lapar. Bisa saja karena memang saya rakus.
Atau bukankah tidak semua warga Indonesia itu orang Subang? Ada orang Bali!
Selanjutnya,
kalau saya tak lapar, apakah saya tidak akan makan? Belum tentu. Bisa
saja saya makan meskipun belum lapar. Atau kalau saya bukan orang
Subang, apakah saya bukan warga Indonesia? Belum tentu. Saya mungkin
orang Medan, tapi saya masih warga Indonesia.
Nah, interpretasi eksistensi Tuhan melalui pendeteksian oleh sains bisa kita tulis sebagai berikut.
“Jika Tuhan terdeteksi, maka Tuhan ada.”
Seperti penalaran sebelumnya, bukankah:
- Jika Tuhan tak terdeteksi, belum tentu Tuhan tidak ada. Bisa saja Tuhan ada, tapi tak terdeteksi.
- Jika Tuhan ada, belum tentu Tuhan terdeteksi. Bisa saja Tuhan ada, tapi tak terdeteksi.
Jadi,
ketidakmampuan manusia mendeteksi Tuhan secara fisik (Tuhan tak
terlihat, tak dapat dicicipi, atau tak dapat diraba), sama sekali tak
menghilangkan fakta eksistensi Tuhan itu sendiri!
Holistik
Kesadaran
akan adanya zat transendental juga muncul ketika kita memandang
kehidupan dan alam semesta secara keseluruhan/holistik. Tadi kita
melihat dari sisi “Bagaimana bumi mengelilingi matahari?”, sekarang kita
lihat dari “Kenapa hanya di planet bumi terdapat makhluk hidup?”. Untuk
itu, mari kita sikapi ketidakmengertian akan fenomena-fenomena seperti
pohon kelapa terbakar bukan pada “bagaimana”, melainkan pada “latar
belakang dan tujuan”. Ilustrasi yang paling umum adalah sebagai berikut.
Jika
Anda pergi ke suatu kota, lalu Anda melihat gedung yang sangat indah,
Anda akan bertanya-tanya: siapa pemilik gedung ini? siapa arsiteknya?,
jumlah pegawainya?
Saya jawab:
Tidak ada yang mengerjakan
gedung tersebut, apalagi arsitek. Gedungnya tiba-tiba tadi pagi ada di
sana. Mungkin batu-batu dari gunung terbawa longsor, kaca dan besi
berkumpul, lalu terbentuklah bangunan indah. Singkatnya, gedung itu
terbangun secara kebetulan.
Anda menyangkal: tidak mungkin!
Nah,
mari kita terapkan penalaran yang sama terhadap alam semesta. Apakah
Anda tidak merasakan keindahan bintang-bintang yang bersinar di malam
hari itu? Pernahkah Anda mengajak kekasih Anda untuk menyaksikan
matahari terbit dari atas bukit? Lalu Anda berpikir bahwa keindahan itu
terjadi secara kebetulan?
Kita sangkal: tidak mungkin!
Orang-orang
yang menyadari adanya “campur tangan” zat transendental, secara
naluriah akan mencari siapa/apa zat tersebut. Sama seperti ketika kita
sudah yakin bahwa gedung indah di kota tadi pasti dibangun, kita akan
mencari siapa arsiteknya. Kelompok orang ini lalu masuk ke pencarian
Tuhan.
Kita ambil contoh cara Nabi Ibrahim berdakwah kepada
kaumnya. Misalkan seseorang awalnya mengira matahari adalah Tuhannya,
tapi ketika matahari terbenam, ia ragu, harusnya Tuhan tidak terbenam.
Kemudian ia menganggap bulan itu Tuhan, tapi ketika datang siang, ia
ragu, harusnya Tuhan tidak hilang siang dan malam.
Sama seperti kita mencari sesuatu, kita bisa menemukan sesuatu itu karena hal-hal berikut.
1. Tanda-tanda
Kalau kita mencari kuda hilang, kita akan memperhatikan tapak kakinya.
2. Informasi dari orang lain
Kita akan bertanya, barangkali ada yang melihat kuda.
3. Sesuatu itu sendiri yang menampakkan diri.
Kudanya sendiri yang menampakkan diri kepada kita.
Ide
zat transendental tadi baru sampai pada poin 1. Kita baru menyadari
bahwa ada tapak kuda, kita melihat bintang-bintang yang menakjubkan.
Poin 2 bisa terjadi kalau memang ada yang telah melihat zat tersebut.
Sampai sini, Tuhan tahu keterbatasan manusia; dengan segala
kesibukannya, egoismenya, atau godaan setan. Tuhan juga tahu sains tidak
akan mendeteksi diri-Nya. Maka, kita perlu poin 3. Jadi, Tuhan sendiri
yang akhirnya memperkenalkan diri-Nya sendiri kepada manusia.
Tapi
Tuhan selektif, Ia tak memberi tahu sembarang orang. Ia hanya memberi
tahu orang-orang yang benar-benar mencari Tuhan. Lebih jauh, Tuhan
memperkenalkan diri lewat manusia pilihan yang disiapkan untuk member
tahu manusia lainnya. Dalam hal ini, kita namai nabi.
Nah, saya
akan menggunakan informasi yang diberikan Tuhan kepada nabi tersebut
seakan-akan kita sudah tahu bahwa informasi tersebut
valid/otentik/benar. Kita akan lihat nanti bagaimana satu informasi bisa
didapat dari informasi lain dan antar informasi saling menguatkan,
termasuk klaim validasi itu sendiri. Dan sumber informasi yang digunakan
adalah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, yaitu Al-Qur’an.
Perhatikanlah bagaimana cara Tuhan memperkenalkan diri melalui ayat-ayat berikut.
1.
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS.
Thaha 20:14)
Secara gamblang:
“Sampaikan kepada orang-orang
yang mencari Tuhan itu, Muhammad, Akulah Allah, Tuhan kalian. Aku yang
menciptakan langit dan bumi, bahkan diri kalian sendiri. Lalu
beribadahlah kepadaku supaya kalian ingat terus, tidak lupa, tidak
tersesat.”
Tapi apakah Muhammad sekadar menciptakan ide
transendental melalui kepalanya sendiri? Apakah konsep Allah itu hasil
pemikirannya sendiri? Sekadar untuk menarik simpati dengan membuat wadah
keagamaan? Tidak. Allah sendiri memberi tahu:
2. “Dan tiadalah
yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
(An-Najm:3-4)
Secara gamblang:
“Hey, kamu yang masih
ragu-ragu, juga kamu yang mencari-cari kesalahan, apa yang dikatakan
Muhammad itu bukan berasal dari pikirannya, tapi datang dari Aku, Tuhan
kalian.”
Untuk lebih meyakinkan bahwa Al-Qur’an ini datang dari Tuhan, Tuhan sendiri memberikan ruang kontemplasi:
3.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al
Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan
yang banyak di dalamnya.” (Al-An’am:82)
Tapi di dalam Al-Qur’an
tidak ada yang bertentangan, baik antar ayat, maupun dengan observasi
sains. Maka, pastilah Al-Qur’an itu datang dari Tuhan. (Ingat, kalau
saya tak makan, pastilah saya tak lapar.)
Apa? Anda masih menolak? Tuhan menantang Anda:
4.
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja)
yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah,
jika kamu memang orang-orang yang benar.” (Al-Baqarah:23)
Secara gamblang:
“Kalau
Anda tidak bisa membuat satu ayat saja yang seperti Al-Qur’an, maka
Anda orang-orang yang salah. Jadi, akuilah bahwa Aku ini Tuhanmu.”
Menurut
hemat saya, kalau Anda mencoba membuat-buat satu surat saja, secara tak
langsung Anda telah mengakui bahwa itu perkataan Tuhan. Anda hanya
mencari-cari fitnah.
Jika kita mengasosiasikan Tuhan sebagai zat
yang menciptakan alam semesta, wajarlah jika kita menganggap-Nya sangat
hebat, sementara kita makhluk kerdil yang tak ada apa-apanya. Tuhan
menciptakan DNA, sementara manusia harus berabad-abad untuk mengetahui
adanya DNA.
Dengan hanya 4 pokok pengenalan tersebut, pembuktian
eksistensi Tuhan sepenuhnya terletak pada validasi Al-Qur’an. Padahal,
validasi ini telah diberikan oleh poin 3:
Al-Qur’an datang dari Tuhan, maka seluruh isinya merupakan kebenaran.
Sampai sini, kita sudah membuktikan bahwa Tuhan itu ada.
Lalu, untuk membuktikan bahwa Tuhan itu hanya satu, kita ambil saja ayat Al-Qur’an berikut ini:
“Katakanlah (olehmu, Muhammad), ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa’.” (Al-Ikhlash:1)
Jadi, Tuhan itu ada dan hanya satu, yaitu Allah.
Bukti lengkap.