JAKARTA- Selama ini pendidikan
nasional tidak menentu arah dan tujuannya. Padahal, dalam masyarakat
dunia berubah cepat, tujuan pendidikan suatu bangsa haruslah jelas.
Meskipun harus dinamis mengikuti perkembangan zaman, tujuan pendidikan
nasional harus tetap bertolak pada kebudayaan Indonesia.
Demikian pokok persoalan yang mengemuka
dalam Konvensi Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
bertema “Pendidikan Indonesia dan Daya Saing Bangsa”, di Bentara Budaya
Jakarta, dan dibuka pada Selasa (18/2).
Sejumlah pembicara yang hadir pada konvensi ini, antara lain, adalah mantan Presiden BJ Habibie, mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla, Ketua DPR Marzuki Alie, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Sri-Edi Swasono, Guru Besar Pendidikan (Emeritus) Universitas Negeri Jakarta HAR Tilaar. Acara dibuka oleh Ketua Umum PGRI Sulistiyo.
Sejumlah pembicara yang hadir pada konvensi ini, antara lain, adalah mantan Presiden BJ Habibie, mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla, Ketua DPR Marzuki Alie, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Sri-Edi Swasono, Guru Besar Pendidikan (Emeritus) Universitas Negeri Jakarta HAR Tilaar. Acara dibuka oleh Ketua Umum PGRI Sulistiyo.
Pakar pendidikan HAR Tilaar menegaskan,
pendidikan di Indonesia belum memiliki arah tujuan yang jelas untuk
menyiapkan manusia-manusia yang cakap, kreatif, dan bertanggung jawab.
Padahal, Indonesia sudah harus menciptakan generasi emas yang di
harapkan bias memajukan kehidupan bangsa.
“Neoliberalisme sudah masuk ke dunia pendidikan sehingga arah pendidikan menjadi tidak jelas seperti sekarang.” Tilaar.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Syawal Gultom membenarkan system pendidikan Indonesia harus direformasi karena system yang ada selama ini tidak menjawab kebutuhan zaman. Salah satu caranya dengan berlakukan Kurikulum 2013 di semua sekolah mulai tahun ini.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Syawal Gultom membenarkan system pendidikan Indonesia harus direformasi karena system yang ada selama ini tidak menjawab kebutuhan zaman. Salah satu caranya dengan berlakukan Kurikulum 2013 di semua sekolah mulai tahun ini.
“Karakter anak didik kita terlebih
dahulu yang harus diperbaiki dan ini yang menjadi tujuan Kurikulum 2013.
Spektrum sekolah atau pendidikan seperti apa yang bias menjawab
kebutuhan zaman, itu yang harus dipikirikan,” kata Syawal.
Kuncinya pada guru
Tilaar mengatakan, kunci perubahan dalam
pendidikan serta membangun sumber daya manusia berkualitas sepenuhnya
ada di tangan guru.
“Karena perannya yang sangat penting,
guru wajib dilibatkan secara aktif dalam perumusan kebijakan pendidikan.
Sayangnya, selama ini guru atau organisasi guru tidak dilibatkan secara
aktif oleh pemerintah,” kata Tilaar.
Untuk meningkatkan peran guru, Tilaar mengusulkan agar penanganan guru kembali disentralisasi. Sebab, dengan desantralisasi, guru seperti sekarang. Guru sering dijadikan komoditas politik oleh elite politik lokal. Guru sering dalam posisi terjepit karena dilibatkan dalam aktivitas politik.
Untuk meningkatkan peran guru, Tilaar mengusulkan agar penanganan guru kembali disentralisasi. Sebab, dengan desantralisasi, guru seperti sekarang. Guru sering dijadikan komoditas politik oleh elite politik lokal. Guru sering dalam posisi terjepit karena dilibatkan dalam aktivitas politik.
Syawal menambahkan, kualitas mayoritas
guru yang masih rendah bukan sepenuhnya salah guru. Ini disebabkan
selama ini guru jarang mendapatkan pelatihan. Oleh karena itu, mulai
tahun ini guru akan memperoleh pelatihan berkala secara spesifik pada
kebutuhan materi-materi yang dirasa menjadi kekurangan setiap guru.
Jusuf Kalla pada kesempatan ini
mengemukakan, pendidikan menjadi kunci untuk meningkatkan kemampuan
bangsa melakukan sesuatu agar bias bersaing dengan komunitas
internasional. Kemampuan itu lebih dititikberatkan pada keterampilan dan
penguasaan pada teknologi yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Ujian nasional
Untuk mengukur kemampuan bangsa, ujar
Kalla, bias dilakukan mulai dari membuat standar nilai kelulusan yang
tinggi (dilihat dari hasil ujian nasional) bagi peserta didik. Jika
sekarang standar kelulusan 5,5 bisa jadi tahun depan standar nilai di
naikan menjadi 6,5.
“Harus dinaikkan secara bertahap. Anak-anak memang harus bekerja keras. Tidak ada bangsa yang bias maju tanpa kerja keras. Tidak ada yang bias maju tanpa belajar dan target yang jelas,” kata Kalla.
“Harus dinaikkan secara bertahap. Anak-anak memang harus bekerja keras. Tidak ada bangsa yang bias maju tanpa kerja keras. Tidak ada yang bias maju tanpa belajar dan target yang jelas,” kata Kalla.
Bagi Kalla, pelaksanaan ujian nasional
(UN) berlangsung sesuai harapan saat pertama kali dimulai tahun 2002. Ia
berharap, masyarakat tidak terfokus pada hasilnya saja, tetapi lebih
pada proses pembelajaran. Pasalnya yang paling penting harus di ubah
adalah suasana atau budaya belajar murid sehingga berkualitas ajarnya
meningkat.
“Yang harus diperbaiki bukan hanya sarana-prasarana atau fasilitas layanan pendidikannya, melainkan justru di budaya belajarnya. Kita tidak mempunyai budaya belajar,” tutur Kalla.
“Yang harus diperbaiki bukan hanya sarana-prasarana atau fasilitas layanan pendidikannya, melainkan justru di budaya belajarnya. Kita tidak mempunyai budaya belajar,” tutur Kalla.
Karena itu, Kalla secara tegas menolak
jika UN dihapuskan. “Jika dihapuskan, bagaimana membuat standar
pendidikan secara nasional?” ujarnya. Selain itu, adanya UN terbukti
mendorong murid lebih giat belajar dan guru jua peduli menyiapkan
anak-anaknya untuk ikut UN.
“Ketika tidak ada ujian nasional, semua santai-santai saja karena murid pasti tidak lulus ujian,” kata Kalla. “Tidak apa-apa saya disalahkan karena saya berfikir untuk kemajuan bangsa kedepan,” tuturnya.
Meskipun demikian, guru Besar Universitas Negeri Jakarta Soedijarto berbeda pendapat. Menurut dia, UN bukanlah solusi atau cara meningkatkan kualitas dan kompetensi peserta didik. Sebab, system evaluasi belajar dengan UN justru menciptakan generasi yang hanya bias menghafal dan tidak belajar untuk memahami sesuatu.
“UN justru akan mengurangi kreativitas belajar sampai menghilangkan semangat untuk menemukan hal-hal baru. Murid hanya belajar misalnya meneliti dan terbiasa membuat karya tulis,” kata Soedijarto
“Ketika tidak ada ujian nasional, semua santai-santai saja karena murid pasti tidak lulus ujian,” kata Kalla. “Tidak apa-apa saya disalahkan karena saya berfikir untuk kemajuan bangsa kedepan,” tuturnya.
Meskipun demikian, guru Besar Universitas Negeri Jakarta Soedijarto berbeda pendapat. Menurut dia, UN bukanlah solusi atau cara meningkatkan kualitas dan kompetensi peserta didik. Sebab, system evaluasi belajar dengan UN justru menciptakan generasi yang hanya bias menghafal dan tidak belajar untuk memahami sesuatu.
“UN justru akan mengurangi kreativitas belajar sampai menghilangkan semangat untuk menemukan hal-hal baru. Murid hanya belajar misalnya meneliti dan terbiasa membuat karya tulis,” kata Soedijarto
Sinergitas
BJ Habibie yang tampil pertama dalam
konvensi itu menyampaikan pentingnya sinergitas antara pendidikan dan
penanaman nilai-nilai budaya kepada para siswa disekolah, termasuk
kecintaan pada bangsa dan Tanah Air
Habibie mengharapkan proses pendidikan di sekolah tidak sekadar mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi semata. Proses pendidikan di sekolah juga sepatutnya mampu memberikan dan menanamkan nilai-nilai budaya kepada para siswa. Guru-guru di sekolah diharapkan melakukan proses pembudayaan sebesar 10-20 persen dari ke seluruhan waktu para siswa ketika berada di sekolah. Sekolah juga diharapkan mampu meneruskan berbagai nilai budaya yang sedari awal sudah dimulai dan dibentuk dari keluarga asal para siswa.
Habibie mengharapkan proses pendidikan di sekolah tidak sekadar mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi semata. Proses pendidikan di sekolah juga sepatutnya mampu memberikan dan menanamkan nilai-nilai budaya kepada para siswa. Guru-guru di sekolah diharapkan melakukan proses pembudayaan sebesar 10-20 persen dari ke seluruhan waktu para siswa ketika berada di sekolah. Sekolah juga diharapkan mampu meneruskan berbagai nilai budaya yang sedari awal sudah dimulai dan dibentuk dari keluarga asal para siswa.
“Proses pendidikan dan proses pembudayaan harus berjalan dengan sinergi dan beriringan” ujar Habibie.
Siswa yang memahami iptek serta tertanam nilai-nilai budaya bangsa di dalam dirinya akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Mereka akan menjadi generasi muda yang unggul dari sisi iptek dan juga memiliki daya saing global tanpa kehilangan kecintaan serta semangat pengabdian pada bangsa dan Tanah Air.
Siswa yang memahami iptek serta tertanam nilai-nilai budaya bangsa di dalam dirinya akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Mereka akan menjadi generasi muda yang unggul dari sisi iptek dan juga memiliki daya saing global tanpa kehilangan kecintaan serta semangat pengabdian pada bangsa dan Tanah Air.
Sumber : kompas.com